Light

Light
Cahaya dari lilin kecil

Jumat, 30 Desember 2011

Harapan Bagi Yang Telah Runtuh

Ketika kita berada dalam situasi yang serba gelap, kelam dan tanpa pengharapan; maka kita membutuhkan cahaya yang diharapkan dapat memberikan suatu pengharapan dan pencerahan. Sinar cahaya tersebut umumnya tidak bersumber dari “kegelapan” atau “kekelaman”. Tetapi sinar cahaya yang mampu menerangi dan memberi pencerahan hidup manusia senantiasa berasal dari sesuatu yang berada di luar diri kita. Dalam pemikiran dan kepercayaan yang monistik seperti Hinduisme dan Budhisme, cahaya ilahi tersebut diyakini bersumber dari dalam diri manusia. Sebab hakikat manusia yang terdalam adalah dia berasal dari percikan ilahi. Namun dalam pemikiran iman Kristen, hakikat manusia bukan berasal dari percikan sang ilahi. Manusia memang diciptakan menurut gambar dan rupa Allah, tetapi manusia bukan Allah. Manusia hanyalah mahluk ciptaan yang bersifat sangat fana dan berdosa. Sehingga setiap diri manusia berada dalam kondisi kefanaan dan keberdosaan. Itu sebabnya setiap manusia tidak mungkin mampu menghasilkan sesuatu yang suci, ilahi dan bersifat kekal. Untuk itu manusia membutuhkan pertolongan dan penyelamatan dari luar dirinya. Manusia membutuhkan intervensi dari Allah yang hakikatnya berada di “luar” diri manusia. Yang mana hakikat Allah bersifat kekal, mulia, suci dan benar; serta hakikatNya melampaui seluruh keberadaan hidup manusia. Hakikat dan kedirian Allah tidak dapat terungkapkan dengan kata-kata, ungkapan, ide dan pikiran manusia; sebab Dialah sang Khalik dan pemilik kehidupan secara mutlak. Namun dalam iman Kristen, Allah yang tak terhampiri dan keberadaanNya melampaui segala yang ada, adalah Allah yang penuh dengan kasih. Bahkan hakikat diri Allah sebagaimana yang telah dinyatakan di dalam Kristus adalah kasih. Allah itu kasih (I Yoh. 4:8).

Itu sebabnya Injil Yohanes tidak memulai kesaksian Injilnya dari kelahiran Kristus, tetapi Injil Yohanes memulai kesaksiannya dengan “pra-eksistensi” Kristus yang telah berada sejak kekal bersama dengan Allah. Kristus dalam hakikat diriNya adalah Firman Allah. Dia sejak kekal telah bersama dengan Allah. Hubungan Allah dengan Kristus merupakan relasi Allah dengan sabdaNya. Yoh. 1:1-2 berkata: “Pada mulanya adalah Firman; Firman itu bersama-sama dengan Allah dan Firman itu adalah Allah. Ia pada mulanya bersama-sama dengan Allah”. Dengan demikian keilahian Kristus sebagai Tuhan, bukan karena Kristus telah berhasil mencapai kesempurnaan sehingga Dia dimuliakan dan menjadi ilahi atau Tuhan. Tetapi keilahian Kristus dipahami karena pada hakikatnya Dia adalah Firman Allah yang telah sejak kekal bersama dengan Allah, dan Dialah yang menciptakan seluruh alam semesta serta sumber segala yang hidup (Yoh. 1:3-4). Sehingga dalam wujud inkarnasiNya sebagai manusia, Kristus mampu membuktikan diriNya sebagai pengejawantahan diri dari Sang Firman. Allah dan FirmanNya tentunya saling berbeda, tetapi pada satu saat yang sama sang Firman itu adalah Allah (Yoh. 1:1). Di dalam inkarnasiNya sebagai manusia, Kristus sungguh-sungguh berada di dalam sejarah kehidupan umat manusia, dan Dia berkenan menjadi bagian dari manusia yang senantiasa mengalami pergumulan hidup yang sulit dan penderitaan. Sehingga dengan inkarnasi Kristus, Firman Allah sebagai sumber hidup dan terang manusia (Yoh. 1:4-5) masuk dalam sejarah hidup manusia yang gelap, kelam dan tanpa pengharapan serta keselamatan agar kehidupan umat manusia ditransformasi dan diperbaharui. Sehingga kini di dalam inkarnasi Kristus, umat manusia memiliki pengharapan, jaminan keselamatan dan hidup kekal. Manusia tidak lagi berada sendirian berjuang dengan upaya dan pengumpulan amal-ibadahnya untuk menyelamatkan diri. Karena Allah dengan FirmanNya telah masuk dan berinkarnasi dalam sejarah hidup manusia. Sehingga di dalam inkarnasi Kristus, Allah telah menyediakan pengharapan dan keselamatan bagi setiap orang yang telah runtuh dalam arti yang seluas-luasnya.

Kita mengetahui bahwa upaya manusia dengan ritual agama dan amal-ibadahnya telah gagal untuk mewujudkan kehidupan yang lebih baik, yaitu kehidupan yang lebih berkualitas dan beradab. Justru kini agama-agama telah dijadikan legitimasi/pembenaran untuk melakukan berbagai perbuatan yang keji, pembantaian, tindakan-tindakan yang merusak dan menghancurkan kemanusiaan. Karena hakikat manusia berdosa, maka manusia pada dirinya tidak mungkin mampu berlaku benar di hadapan Allah. Setiap manusia membutuhkan pertolongan dan keselamatan yang dikerjakan sendiri oleh Allah. Itu sebabnya Allah mengaruniakan Kristus, agar melalui kehidupan dan karya Kristus hidup kita makin diperbaharui, dikuduskan, diteguhkan dan berada dalam keselamatan. Sehingga tepatlah kesaksian Alkitab bahwa inkarnasi Kristus sesungguhnya merupakan wujud dari kasih-karunia Allah yang paling agung. Yoh. 1:16-17 berkata: “Karena dari kepenuhanNya kita semua telah menerima kasih karunia demi kasih karunia; sebab hukum Taurat diberikan oleh Musa, tetapi kasih karunia dan kebenaran datang oleh Yesus Kristus”. Dengan demikian hakikat dan makna keselamatan dalam iman Kristen bukan merupakan upaya, hasil perjuangan dan prestasi rohani manusia; tetapi keselamatan dapat dialami oleh manusia karena telah dianugerahkan oleh Allah. Kristus adalah anugerah dan kasih karunia Allah bagi seluruh umat manusia. Itu sebabnya dalam inkarnasiNya sebagai manusia Kristus yang ilahi berkenan menjadi daging. Firman itu telah menjadi manusia (Yoh. 1:14). Sehingga nilai “kemanusiaan” atau kedirian manusia yang terbungkus oleh daging dan darah tidak lagi ditempatkan sebagai sesuatu hina dan rendah. Hakikat manusia yang mulia tidak lagi dipahami karena hidup manusia berkaitan dengan aspek rohaniahnya, tetapi juga dengan aspek jasmaniahnya. Hidup manusia secara total secara fisik dan rohani diangkat oleh karya Kristus dalam predikat yang mulia sebagai anak-anak Allah.

Paradigma teologis ini tentunya sangat berbeda dengan pandangan yang dipengaruhi oleh Platonisme. Sebab dalam pemikiran Plato, hakikat manusia yang termulia, kekal, adikodrati dan terdalam adalah dimensi rohnya. Sedang dimensi atau aspek jasmaniah yang dimiliki oleh manusia senantiasa bersifat rendah, kotor, najis dan berdosa. Karena itu untuk menjelaskan pemikirannya Plato memberi ilustrasi tentang mitologi kereta yang ditarik oleh 2 ekor kuda bersayap dan sedang terbang di angkasa; yang mana kereta dengan seorang sais tersebut melambangkan fungsi dari jiwa manusia yang rasional. Sedangkan salah satu dari kuda bersayap tersebut adalah lambang dari “kebenaran” yang lebih cenderung untuk lari dan terus terbang ke atas, yaitu ke “dunia ide”. Sebaliknya kuda bersayap yang di sebelahnya adalah lambang dari “keinginan” atau “nafsu” yang cenderung lari ke bawah, yaitu ke “dunia gejala”. Sehingga di angkasa waktu itu terjadi suatu tarik-menarik antara kuda “kebenaran” dengan kuda “keinginan”. Kadang-kadang kereta ditarik ke atas ke “dunia ide”, tetapi tak lama kemudian kereta ditarik ke bawah ke “dunia gejala”. Tetapi dalam pergumulan dan tarik-menarik tersebut, akhirnya kuda “keinginan” atau nafsu manusialah yang menang, sehingga kereta tersebut jatuh ke “dunia gejala”; dan jiwa dipenjarakan di dalam dunia fisik yang sifatnya materi. Dengan demikian dalam pemikiran Plato, seakan-akan inkarnasi Kristus yang adalah Firman Allah tersebut kini terpenjara dalam dunia daging yaitu menjadi manusia. Demikian pula setiap manusia juga dipahami oleh Plato sebagai “roh-roh” yang semula ilahi tetapi karena mereka lebih cenderung dan tertarik kepada dunia keinginan atau nafsu, maka roh-roh tersebut kemudian terpenjara di dalam tubuh. Jadi keselamatan dipahami ketika setiap orang mampu melepaskan diri dari keinginan/nafsu jasmaniahnya sedemikian rupa, sehingga akhirnya roh yang semula bersifat ilahi tersebut dapat kembali ke tempat asalnya, “yang ilahi”, yaitu Allah. Inkarnasi menjadi manusia dalam pemikiran Plato hanyalah suatu kegagalan dan kehinaan.

Manakala konsep berpikir Platonisme tersebut diterapkan dalam kehidupan manusia sehari-hari, maka manusia harus melepaskan diri dari berbagai hal yang sifatnya jasmaniah. Manusia yang benar adalah bilamana dia hanya terarah kepada dimensi hidup yang serba rohaniah. Konsekuensi teologisnya adalah manusia akan cenderung untuk menarik diri dari berbagai pergumulan dunia. Ketika manusia menghadapi berbagai persoalan hidup yang terjadi, maka dia akan lebih cenderung untuk melarikan diri dari persoalan-persoalan hidup yang dialaminya; lalu dia kemudian berkonsentrasi kepada hal-hal rohaniah belaka. Akibatnya dalam konteks pemikiran dan keyakinan ini setiap orang akan mengabaikan tugas dan tanggungjawabnya secara utuh. Dalam konteks ini manusia hanya memprioritaskan diri dengan berbagai ritual keagamaan dan tindakan menyucikan diri, tetapi dia mengabaikan aspek yang tidak kalah penting yaitu persoalan hidup sebagai insane manusia. Tidak demikian sikap Allah di dalam Kristus. Dia berinkarnasi menjadi manusia, dan sungguh-sungguh mengalami berbagai persoalan hidup manusia secara riel dan langsung. Bahkan melalui Kristus, Allah rela untuk merasakan penderitaan. Di dalam Kristus, Allah berempati dengan umatNya yang sedang menderita serta hidup tanpa pengharapan. Sehingga realita penderitaan, kesedihan, kesakitan, dukacita, dan pergumulan manusia bukan sekedar dilihat dan dimengerti oleh Allah. Tetapi di dalam Kristus, Allah sungguh-sungguh ikut merasakan dan mengalami semua penderitaan kita tersebut. Sehingga di dalam Kristus, Allah berada di tengah-tengah setiap orang yang sedang menderita dan hidup tanpa pengharapan. Allah tidak sekedar sebagai “yang transenden”, tetapi di dalam Kristus, Allah berkenan menjadi “yang imanen”. Allah beserta dan tinggal bersama dengan manusia. Allah di dalam Kristus adalah sang Imanuel. Dengan demikian inkarnasi Kristus menjadi manusia dalam pemikiran dan iman Kristen justru merupakan wujud dari kasih-karunia dan keselamatan Allah yang memberikan jaminan hidup kekal dan pengharapan.

Dengan inkarnasi Kristus yang memberi pengharapan dan keselamatan, maka genaplah nubuat nabi Yesaya yang menyatakan bahwa umat Allah dapat bersorak-sorai. Di Yes. 52:9-10, nabi Yesaya bernubuat demikian: “Bergembiralah, bersorak-sorailah bersama-sama, hai reruntuhan Yerusalem! Sebab Tuhan telah menghibur umatNya, telah menebus Yerusalem. Tuhan telah menunjukkan tanganNya yang kudus di depan mata semua bangsa; maka segala ujung bumi melihat keselamatan yang dari Allah kita”. Semula umat Israel pada waktu sedang terpuruk sebab mereka berada dalam pembuangan di Babel. Kota Yerusalem telah menjadi reruntuhan. Umat Allah tercerai-berai dan hidup tanpa pengharapan. Maka dengan anugerahNya Allah berjanji akan memulihkan umatNya. Tetapi kemudian umat Allah menerima suatu kabar baik, yaitu kabar selamat bahwa Allah yang adalah Raja (Yes. 52:7) akan berkenan menjadi penebus dan pemulih bagi umat yang telah hidup dalam kekelaman. Janji nubuat nabi Yesaya tersebut kini telah terpenuhi dalam kehadiran Kristus. Sehingga seharusnya di dalam iman Kristus, kita tidak lagi membiarkan diri terpuruk dalam kekelaman dosa, atau hidup yang tanpa pengharapan. Sebab di tengah-tengah realita hidup yang sulit, penuh dengan kekerasan, penuh dengan pergumulan dan penderitaan, serta tanpa pengharapan ini Allah di dalam Kristus telah berada di tengah-tengah kita. Dia tidak lagi jauh, tetapi Dia sangat dekat dan berada dalam setiap persoalan dan pergumulan kita. Makna iman ini membuat kehidupan kita menjadi bermakna dan memiliki tujuan. Sehingga kita dapat melihat setiap pergumulan, penderitaan, kesusahan, kegagalan dan dukacita dengan perspektif yang baru. Sebab pergumulan, penderitaan bahkan kematian yang akan kita alami tidak lagi menjadi sesuatu yang menakutkan dan mengancam kehidupan kita. Sebaliknya setiap pergumulan, penderitaan dan kematian serta tragedi hidup yang dialami oleh umat percaya kini telah dikuduskan dalam terang penderitaan, kematian, dan kebangkitan Kristus. Sehingga kita tetap dapat bersukacita di tengah-tengah dukacita, kita tetap dapat bergembira ketika kita kehilangan sesuatu yang berarti, kita tetap dapat memiliki kekuatan ketika hidup kita dihempaskan oleh dunia secara sewenang-wenang, dan kita tetap dapat memiliki pengharapan ketika seharusnya kita berputus-asa.

Jadi makin nyatalah bahwa inkarnasi Kristus pada hakikatnya telah menguduskan setiap kelemahan, ketidakberdayaan , kegagalan dan penderitaan yang dialami oleh setiap manusia. Sehingga melalui inkarnasi Kristus, Allah mentransformasikan segala hal yang destruktif menjadi sesuatu yang konstruktif. Allah mengubah segala hal yang hina, kotor dan berdosa menjadi sesuatu yang mulia dan suci. Itu sebabnya sebagai orang percaya, kita tidak boleh melarikan diri dari setiap persoalan hidup yang sedang kita alami. Kita tidak boleh menjadikan dimensi rohaniah sebagai suatu pembenaran diri untuk melarikan diri atau sekedar suatu kompensasi dari tugas-tanggungjawab yang seharusnya kita pikul. Sehingga tidak benarlah apabila seseorang gagal dalam bisnis atau suatu pekerjaan, lalu dia kemudian beralih menjadi seorang penginjil atau “pendeta” dengan suatu anggapan dia telah “bertobat”. Juga tidaklah benar apabila seseorang mengalami kesulitan dan kegagalan dalam relasi dengan sesamanya, lalu dia memutuskan diri untuk menjadi seorang biarawati atau biarawan sebab dianggap sebagai jalan untuk lebih mendekat kepada Tuhan, tetapi dia dapat menjauh dari komunikasi dengan orang lain. Makna hidup rohaniah atau spiritualitas bukan ditempuh dengan cara meleburkan dengan berbagai ritual keagamaan. Sebaliknya hidup rohaniah atau sikap hidup yang dilandasi oleh spiritualitas justru senantiasa dia berani untuk berada di dalam dunia riel, dunia sehari-hari, dunia sekuler. Namun keberadaannya di dunia riel atau dunia sehari-hari tersebut tidaklah statis tetapi dinamis, juga tidak pasif tetapi kreatif dan transformatif. Sehingga dengan iman kepada Kristus, kita justru dipanggil untuk mentransformasikan setiap aspek dengan karya keselamatan Allah yang telah dilaksanakan di dalam Kristus.

Apabila Firman Allah telah berinkarnasi menjadi Kristus dan tinggal di antara manusia, apakah kehidupan kita selaku umat percaya juga telah berinkarnasi untuk hadir secara riel dan bermakna dalam kehidupan sehari-hari? Apakah kita juga telah hadir secara transformatif sehingga kita dapat menjadi tangan Kristus yang terulur untuk menolong dan menyelamatkan setiap orang yang sedang kehilangan harapan dan tanpa daya? Apakah setiap ucapan dan perkataan kita telah mencerminkan dari sabda Kristus yang senantiasa menghasilkan pembaharuan, peneguhan dan pengharapan bagi setiap orang yang mendengarnya? Setiap umat Kristen tanpa terkecuali dipanggil untuk mampu berinkarnasi di tengah-tengah dunia nyata sehari-hari; dan senantiasa mampu hadir secara transformatif. Sebagaimana Kristus tidak sekedar berinkarnasi, tetapi Dia hadir untuk membaharui, memberi keselamatan dan mendatangkan pengharapan bagi setiap orang yang runtuh. Demikian pula dengan kehidupan kita selaku umat percaya. Karena melalui peristiwa Natal, kita selaku umat percaya kini telah dikuduskan untuk menjadi alat di tangan Allah sesuai dengan tugas panggilan dan tanggungjawab yang telah dipercayakan Tuhan kepada kita. Jadi apakah kita telah melaksanakan setiap tugas panggilan dan tanggungjawab kita dengan setia, sehingga kita dapat menyatakan karya keselamatan Allah di dalam Kristus di setiap bidang kehidupan ini? Sebab di dalam peristiwa inkarnasi Kristus, setiap bidang kehidupan telah dikuduskan dan diperbaharui oleh karya keselamatan Allah. Amin.

To You oleh: Hillsong


Here I stand forever in

Your mighty hand

Living with Your promise

Written on my heart

I am Yours

Surrendered wholly to You

You set me in Your family
 
Calling me Your own
 


Now I
 
I belong to You
 
Lord I need
 
Your Spirit Your word Your truth
 
Hear my cry my deep desire
 
To Know You more
 

In Your name
 
I will lift my hands
 
To the King
 
This anthem of praise I bring
 
Heaven knows
 
I long to love You
 
With all I am
 
I belong to You


Tips Pacaran Pemuda-Pemudi Kristen

Tidak heran bahwa untuk mencapai tujuan yang agung, orang-orang Kristen bergaul dan berpacaran secara berbeda dengan orang-orang non-Kristen. Pacaran bagi orang Kristen ditandai dengan:

1. Proses Peralihan dari "Subjective Love" ke "Objective Love."


"Subjective love" sebenarnya tidak berbeda daripada manipulative love yaitu "kasih dan pemberian yang diberikan untuk memanipulir orang yang menerima". Pemberian yang dipaksakan sesuai dengan kemauan dan tugas dari si pemberi dan tidak memperhitungkan akan apa yang sebenarnya dibutuhkan oleh si penerima. Sesuai dengan "sinful nature"nya setiap anak kecil telah belajar mengembangkan "subjective love". Dan "subjective love" ini tidak dapat menjadi dasar pernikahan. Pacaran adalah saat yang tepat untuk mematikan sinful nature tsb, dan mengubah kecenderungan "subjective love" menjadi "objective love". Yaitu memberi sesuai dengan apa yang baik yang betul-betul dibutuhkan si penerima.

2. Proses Peralihan dari "Envious Love" ke "Jealous Love."


"Envious" sering diterjemahkan sama dengan "jealous" yaitu cemburu. Padahal "envious" mempunyai pengertian yang berbeda. "Envious" adalah kecemburuan yang negatif yang ingin mengambil dan merebut apa yang tidak menjadi haknya. Sedangkan "jealous" adalah kecemburuan yang positif yang menuntut apa yang memang menjadi hak dan miliknya. Tidak heran, kalau Alkitab sering menyaksikan Allah sebagai Allah yang "jealous", yang cemburu (misal: 20:5). Israel milik-Nya umat tebusan-Nya. Kalau Israel menyembah berhala atau lebih mempercayai bangsa-bangsa kafir sebagai pelindungnya, Allah cemburu dan akan merebut Israel kembali kepada-Nya.

Begitu pula dengan pergaulan pemuda-pemudi. Pacaran muda-mudi Kristen harus ditandai dengan "jealous love". Mereka tidak boleh menuntut "sesuatu" yang bukan atau belum menjadi haknya (seperti: hubungan seksuil, wewenang mengatur kehidupannya, dsb). Tetapi mereka harus menuntut apa yang memang menjadi haknya, seperti kesempatan untuk dialog, pelayanan ibadah pada Allah dalam Tuhan Yesus, dsb.

3. Proses Peralihan dari "Romantic Love" ke "Real Love."


"Romantic love" adalah kasih yang tidak realistis, kasih dalam alam mimpi yang didasarkan pada pengertian yang keliru bahwa "kehidupan ini manis semata-mata". Muda-mudi yang berpacaran biasanya terjerat pada "romantic love". Mereka semata-mata menikmati hidup sepuas-puasnya tanpa coba mempertanyakan realitanya, misal:

    * apakah kata-kata dan janji-janjinya dapat dipercaya?
    * apakah dia memang orang yang begitu sabar, "caring", penuh tanggung jawab seperti yang selama ini ditampilkan?
    * apakah realita hidup akan seperti ini terus (penuh cumbu-rayu, rekreasi, jalan-jalan, cari hiburan)?

Pacaran adalah persiapan pernikahan, oleh karena itu pacaran Kristen tidak mengenal "dimabuk cinta". Pacaran Kristen boleh dinikmati tetapi harus berpegang pada hal-hal yang realistis.

4. Proses Peralihan dari "Activity Center" ke "Dialog Center."

Pacaran dari orang-orang non-Kristen hampir selalu "activity- center". Isi dan pusat dari pacaran tidak lain daripada aktivitas (nonton, jalan-jalan, duduk berdampingan, cari tempat rekreasi, dsb.), sehingga pacaran 10 tahun pun tetap merupakan 2 pribadi yang saling tidak mengenal. Sedangkan pacaran orang-orang Kristen berbeda. Sekali lagi orang-orang Kristen juga boleh berekreasi dsb, tetapi "center"nya (isi dan pusatnya) bukan pada rekreasi itu sendiri, tapi pada dialog yaitu interaksi antara dua pribadi secara utuh (Martin Buber, "I and Thou", by Walter Kauffmann, Charles Scribner's Sons, NY: 1970), sehingga hasilnya suatu pengenalan yang benar dan mendalam.

5. Proses Peralihan dari "Sexual Oriented" ke "Personal Oriented."


Pacaran orang Kristen bukanlah saat untuk melatih dan melampiaskan kebutuhan seksuil. Orientasi dari kedua insan tsb, bukanlah pada hal-hal seksuil, tapi sekali lagi (seperti telah disebutkan dalam no. 4) pada pengenalan pribadi yang mendalam.

Jadi, masa pacaran tidak lain daripada masa persiapan pernikahan. Oleh karena itu pengenalan pribadi yang mendalam adalah "keharusan". Melalui dialog, kita akan mengenal beberapa hal yang sangat primer sebagai dasar pertimbangan apakah pacaran akan diteruskan atau putus sampai disini.

Beberapa hal yang primer tsb, antara lain:

a. Imannya.


Apakah sebagai orang Kristen dia betul-betul sudah dilahirkan kembali (Yoh 3:3), mempunyai rasa takut akan Tuhan (Amsal 1:7) lebih daripada ketakutannya pada manusia, sehingga di tempat- tempat yang tersembunyi dari mata manusia sekalipun ia tetap takut berbuat dosa. Apakah ia mempunyai kehausan akan kebenaran Allah dan menjunjung tinggi hal-hal rohani?

b. Kematangan Pribadinya.

Apakah ia dapat menyelesaikan konflik-konflik dalam hidupnya dengan cara yang baik? Dapat bergaul dan menghormati orang-orang tua? Apakah ia menghargai pendapat orang lain?

c. Temperamennya.

Apakah ia dapat menerima dan memberi kasih secara sehat? Dapat menempatkan diri dalam lingkungan yang baru bahkan sanggup membina komunikasi dengan mereka? Apakah emosinya cukup stabil?

d. Tanggung-jawabnya.

Apakah dia secara konsisten dapat menunjukkan tanggung-jawabnya, baik dalam studi, pekerjaan, uang, seks, dsb.?

Kegagalan dialog akan menutup kemungkinan mengenali hal-hal yang primer di atas. Dan pacaran 10 tahun sekalipun belum mempersiapkan mereka memasuki phase pernikahan.

Kegagalan dalam dialog biasanya ditandai dengan pemikiran- pemikiran:

   1. Saya takut bertengkar dengan dia, takut menanyakan hal-hal yang dia tidak sukai.
   2. Setiap kali bertemu kami selalu mencari acara keluar ... atau kami ingin selalu bercumbuan saja.
   3. Saya rasa "dia akan meninggalkan saya" kalau saya menuntut kebenaran yang saya yakini. Saya takut ditinggalkan.
   4. Saya tidak keberatan atas kebiasaannya, wataknya bahkan jalan pikirannya asalkan dia tetap mencintai saya, dsb.

God bless…

SASARAN KITA : UNTUK SAMPAI KEPADA KEMULIAAN

Karena semua orang telah berdosa dan telah kehilangan kemuliaan Allah (Rm 3:23).Ayat ini telah memperlihatkan kepada kita apa yang merupakan sasaran dalam kehidupan Kristus adalah memimpin banyak putra kepada kemuliaan. Misi utama dari Tuhan kita adalah memimpin banyak putra kepada kemuliaan ‘(Ibr 2:10Kjv). Ia tidak datang ke bumi  sekedar untuk menyelamatkan manusia berdosa dari hukuman kekal. Tidak! Ia datang untuk menegakan orang yang terhina dari dalam debu dan mengangkat orang yang miskin dari lumpur,untuk mendudukan dia bersama-sama dengan para bangsawan,dan membuat dia memiliki kursi kehormatan.(I Samuel 2:8).

 Allah merindukan seorang mempelai yang dewasa,seorang yang penuh kemuliaan, tidak memiliki cacat atau kerut, atau yang serupa itu(Ef 5:26-27). Ia merindukan seseorang memiliki tingkat komunikasi yang setaraf, seseorang yang keadanya ia dapat membuka hati dan membagikan rahasia-rahasia hati-Nya yang terdalam.Allah tidak bisa memiliki hubungan yang seperti itu dengan seorang anak. Inilah alasannya kita harus berkembang dari seorang bayi yang baru lahir di dalam Kristus menjadi seorang mempelai yang dewasa, dari IPet 2:1-2 kepada Wahyu 19:7-8.

Apa maksud sampai kepada kemuliaan?

Kemuliaan dalam bahasa Yunani adalah Doxa  dan Ibrani adalah Kabod, artinya :
Pertama; berat atau menekan, dan arti kedua adalah bobot. Dalam Perjanjian Lama dikatakan ketika kemuliaan Tuhan turun maka orang tidak akan tahan berdiri dihadapan Tuhan. Bobot berbicara quality, artinya dalam hidup kita ditanamkan kualitas Illahi yang harus dimunculkan kembali dalam hidup kita. Apapun yang kita lakukan dalam hidup ini tidak bisa kita lakukan dengan asal-asalan, karena harus ada kualitas yang kita munculkan.

Ketika orang lain dapat melihat Kristus di dalam kita (Kualitas hidup yang berbedah) Gal 1:16,24 . Kristus yang ada di dalam kita adalah pengharapan akan kemuliaan (Kol 1:27). Ketika kita lahir baru, Kristus lahir di dalam kita  sebagai sebuah benih (I Pet 1:23). Benih kudus yang ada di dalam kita itu tidak dapat berdosa (I Yoh 3:9). Tetapi ia harus di izinkan untuk berkembang sepenuhnya di dalam kita (Gal 4:19) sampai kita menjadi sempurnah mencampai tingkat pertumbuhan yang sesuai dengan kepentingan Kristus (Efs 4:13-14). Tatkala kita lahir baru, tentunya Kristus ada di dalam kita. Akan tetapi Ia lahir di dalam kita sebagai suatu benih di sekitar kita akan melihat Kristus yang dewasa memanifestasikan diri-Nya melalui hidup kita.
Karena itu, “sampai kepada kemuliaan” itu sama dengan gambaran putra Allah (Rm 8:29) dan mendemonsrasikan kehidupan-Nya kepada dunia.



Cara untuk sampai kepada Kemuliaan
1.     
Kelaparan,kerinduan
Lapar akan Allah adalah suatu karunia Ilahi. Hal itu ditanamkan oleh Allah sendiri di dalam hati tatkala kita menantidi hadapan-Nya, dan Ia menarik kita kepada-Nya (Yoh 6:44).musa berdoa kepada Allah, “Aku memohon kepada-Mu, perlihatkanlah kiranya kemuliaan-Mu kepadaku”Kel 33:18 Kjv).Akibatnya, sebagaimana dilukiskan di dalam keluraran 34:5-8, Allah menampkkan diri dengan luar biasa kepadanya. Dalam bahasa Ibrani dan Yunani aslinya, kata memohon ini adalah sebuah kata yang sangat mengandung arti. Yang maksud dengan memohon di sini adalah memohon secara mati-matian. Kemuliaan Allah disingkapkan kepada orang-orang yang mencarinya dengan sungguh-sungguh, dengan rasa lapar yang hebat. Kerinduan adalah kuncinya! Orang-orang Kristen yang puas dengan keadaan kerohaniannya tidak akan sampai kepada kemuliaan (Whyu 3:15-19). Kalau kita tidak memiliki rasa lapar, marilah kita berdoa, “Tuhan, berbelas kasihanlah kepadaku dan tariklah aku agar dekat kepada-Mu”(Kid 1:4;Yoh 6:44).

2.      Kehausan
Daud haus akan Allah (Maz 42:2-3). Ia rindu untuk melihat kuasa dan kemuliaan Allah (Kzm 63:2-3). Daud telah mempersempit kerinduannya menjadi satu hal saja – “diam di rumah Tuhan seumur hidupku,menyaksikan kemurahan Tuhan dan menikmati bait-Nya (maz 27:4). Ia rela melalui pengalaman-pengalaman padang belantara yang kering. Semua pengalaman seperti itu menciptakan rasa haus ilahi terhada Allah dan kemuliaan-Nya. Allah mungkin mengeringkan beberapa sumber Air yang Hidup (Yer 2:13). Ingatlah, Allah hanya mencurahkan Roh-Nya kepada orang-orang yang haus (Yes 44:3;41:17-18;Mat 5:6).

3.      Keagresifan
Lawatan Allah tidak datang kepada orang yang pasif. Ia sedih melihat orang yang suam-suam kuku dan Ia tidak mau menikah dengan seorang mempelai yang tidak benar-benar mencitai-Nya (Why 3:15-16).Kalau kita mau berjumpa dengan Allah dan ingin agar hidup kita diubah dengan luar biasa, kita harus agrasif(Mat 11:12;Ams 2:1-5). Setiap orang percaya  memiliki “akar-akar” dan suatu latar belakang yang harus ia singkirkan. Semua kekuatan dan kelemahan yang kita warisi akan terbawa ke dalam kehidupan kekristenan kita. Seringkali hal ini terbawa ke dalam kehidupan rohani,sehingga setan pun tidak dilawan atau ditentang. Namun, Perjanjian lama dan perjanjian Baru itu sama-sama penuh dengan istilah-istilah kemiliteran, Yesus sendiri mendeklarasikan bahwa roh penyerang dibutuhkan untuk memperoleh kerajaan kehidupan (mat 11:12Kjv). “Kerajaan surga diserang,dan para penyerang merebutnya secara paksa” (bdgk Luk 16:16 Kjv). Hanya orang-orang agresif yang memperoleh janji-janji Allah dan sampai kepada kemuliaan.



4.      Kebenaran
“Kasih dan kemuliaan Ia berikan” kepada orang yang berjalan dengan benar di hadapan-Nya (Maz 84:12). Allah mengasihi kebenaran dan Ia berkenan agar orang-orang benar memeroleh kemuliaan. Tuhan tentu akan membawa kita ke dalam segenap janji-Nya yang mulia bila kita bersuka di dalam-Nya dan melakukan kebenaran (Bil 14:8;Yes 64:5).

5.      Keteraturan
Jika segala sesuati di dalam hidup dan rumah tangga kita telah dibuat teratur ,kemuliaan Tuhan akan dinyatakan (Yes 40:3-5). Kemuliaan Allah tidak dapat datang sebelum semua standar di penuhi. Banyak hal harus terjadi lebih dahulu sebelum kemuliaan Allah datang. Setelah masing-masing, barulah kemuliaan Tuhan turun (Kel40:33-35). Hal yang sama terjadi juga dalamkasus bait Salomo (I Raja 6:38;8:10-11). Tentunya kebenaran-kebenaran ini berlaku juga atas kita, karena kita pun adalah bait Allah. Juga, amat penting sekali bagi kita untuk memiliki kelluarga yang teratur , dan membuat hubungan kita dengan banyak persiapan dibutuhkan sebelum Allah datang dalam kemuliaan-Nya(Maz 102:16). “Kata Musa: inilah firman yangkepadamu” (Im 9:6,4). Sebelum kemuliaan Tuhan tampak keada Israel , kedelapan pasal pertama kitab Imamat harus dilaksanakan dahulu. Umat Allah harus mejmpersembahkan korban-korban yang benar,melakukan berbagai penahiran, pemercikan darah yang benar, memakai pakaian rohani yang benar, dan diurapi. Semua ini harus ada di dalam kehidupan pribadi kita sebelum kemuliaan Allah turun.

6.      Kedewasaan
Kemuliaan akan datang ke atas orang yang dewasa, ke atas ladang yang sudah menguning. Seorang petani yang hasil ladangnya tidak menguning (tidak dewasa) tidakmemiliki sukacita. Ia berdukacita.Allah juga adalah seorang petani dan Ia tidak senang ataupun puas,sebelumkita menghasilkan buah yang matang (Luk 8:14;Yak 5:7). Kita menjadi dewasa bila bertumbuh dalam hikmat. “Hikmat adalah hal yang utama:karena itu perolehlah hikmat, dan dengan segala yang kau peroleh perolehlah pengertian”(Ams 4:7Kjv;Mzm 90:12).


Beban Allah adalah agar Gereja-Nya mencapai kemuliaan yang penuh. Kristus datang untuk menjemput Gereja yang penuh dengan kemuliaan (Efs 5:26-27). Ia harus menyingkirkan semua noda dan cacat dari hidup kita, karena Allah tidak menginginkan seorang mempelai yang  bercacat. Sebelum dunia diciptakan, Allah telah merancangkan lebih dahulu bahwa Gereja akan sampai kepada kemuliaan. Sudah menjadi kenyataan bahwa Gereja akan sampai pada kemuliaan ( Ef 5:26-27;Yes 60:1-2;40:3-5). Pertanyaaanny adalah apakah saudara dan saya akan ikut serta dalam kemuliaan ini! Bil 14:21 mendeklarasikan, “Hanya demi aku yang hidup dan kemuliaan Tuhan memenuhi seluruh bumi.” Dari satu ayat ini saja kita dapat melihat apa yang menjadi kerinduan Allah sejak manusia diciptakan.


Apakah kunci untuk sampai kepada Kemuliaan? 

Sederhana saja- dengan diam di dalam jalan Allah bagi hidup kita. Kita tidak boleh berpaling ke kanan atau ke kiri atau berputar di sekeliling hal-hal yang ingin Allah bereskan. Marilah kita menghadapi setiap situasi secara langsung. Kalau persoalannya selalu sulit, kita harus mendoakannya sampai kita beroleh kemenangan. Jika persoalan masih tetap terlalu berat, kita patut meminta pertolongan dari para penatua. Mari kita menaiki tangga rohani selangkah demi selangkah. Orang-orang kudus yang ada di puncak tertinggi adalah orang-orang yang tidak menghindar, melainkan menghadapi setiap situasi dengan kasih karunia. Dititik tempat kita berkata “tidak” kepada Allah, kita berhenti bertumbuh.Mari kita meminta hati yang lembut dan mau bekerja sama. Allah mampu member kita hati yang lembut Yeh 36:26).